(Oleh: Ahmad Faiz Basori)
Artikel sebelumnya di Biografi KH. Alwi Murtadlo (1).
Kyai Alwi adalah seorang pejuang. Bahkan rumah tempat tinggal Kyai Alwi (di Jl. Raya 94 Singosari) pernah menjadi markas Laskar HIZBULLAH yang terbentuk pada awal tahun 1945. Pemimpin tertingi Laskar Hizbullah saat itu adalah KH. Zainul Arifin.
Di barisan lain ada Kyai Masykur (Singosari) pada barisan tentara SABILILLAH. Kedua kyai ini saling mendukung dalam melawan penjajah juga dalam berdakwah. Pada waktu agresi Belanda masuk Singosari, banyak rumah penduduk yang dibakar Belanda, tetapi rumah Kyai Alwi aman karena dijaga oleh tentara Hizbullah.
Tahun 1946-1949 Belanda sedang ganas-ganasnya melakukan agresi militer. Situasi ini mengharuskan Kyai Alwi membawa keluarganya untuk mengungsi ke Kediri. Di kota tahu ini Kyai Alwi mendorong putranya agar memanfaatkan waktu untuk belajar di madrasah, pesantren dan kyai yang ada di kota Kediri, seperti Kyai Mahrus Aly dari Lirboyo. Sampai sekitar tahun 1949, sesudah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah RI, keluarga Kyai Alwi pun pulang ke Singosari.
Di arena politik, Kyai Alwi menjadi anggota Majelis Konstituante RI. Konstituante adalah lembaga yang ditugaskan untuk membentuk Undang Undang Dasar baru menggantikan UUDS tahun 1950. Kyai Alwi duduk sebagai anggota konstituante sebagai wakil NU Jawa Timur. Di dalam sidang-sidang konstituante tsb Kyai Alwi sangat aktif memberikan masukan dan pendapatnya, dan banyak yang digunakan oleh konstituante. (Kesaksian ini disampaikan oleh Kyai Jamaludin Makasar sekitar tahun 1998). Konstituante tsb dibentuk tahun 1955 berdasarkan hasil pemilu tahun 1955. Anggotanya ada 550 orang. Konstituante ini dibubarkan berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Kyai Alwi dikenal bersuara merdu. Beliau suka membaca Al-Qur’an dengan lagu yang indah. Bakat ini menurun dari Kyai Murtadlo (pen: atau lebih sering kami panggil dengan nama Buyut Murtadlo). Buyut Murtadlo memang dikenal mempunyai kelebihan suara yang indah dan keras. Sehingga sering terjadi saat Buyut Murtadlo tadarus al Qur’an di rumah di pagi hari, banyak orang yang mendengarkannya di luar rumah sampai Buyut Murtadlo selesai mengaji.
Kyai Alwi juga terkenal sebagai pemimpin terbangan (rebana), yang saat itu pemimpin terbangan dipanggil dengan istilah “Hadi”. Beliau terbangan bersama Kyai Amin dan kyai-kyai lain di Singosari. Saking suka dan getolnya di kelompok terbangan/sholawatan itu, sampai-sampai ketika kelahiran putra kedua beliau, yaitu Abdullah (AA Murtadlo), Kyai Alwi tidak ada di rumah karena memimpin terbangan. Kemudian sejak kejadian tersebut Kyai Alwi berhenti menjadi pemimpin terbangan.
Namun meskipun sudah tidak lagi menjadi pemimpin terbangan, kegemaran beliau terhadap sholawatan dan terbangan tetap ada dalam hati beliau. Hingga pernah pada suatu ketika, Kyai Alwi mengajak Mbah Ning Riwati bersama cucu (Anas Basori) untuk silaturahim ke rumah keponakan beliau (pen: Ibu Saudah) di Karangploso dengan naik delman. Ketika sampai di sekitar daerah Langlang, terdengar suara shalawat dan terbangan, maka seketika itu Kyai Alwi langsung minta turun dari dokar, dan Mbah Ning Riwati disuruh meneruskan perjalanan. Sementara Kyai Alwi mendatangi jamaah Shalawat tersebut.
Semua putra Kyai Alwi mengenal pertama kali huruf arab adalah diajari langsung oleh Kyai Alwi. Beliau ajarkan sendiri mulai mengenal huruf hijaiyah hingga benar-benar mampu membaca Al Qur’an. Sudah menjadi tradisi dalam keluarga besar Kyai Alwi, bahwa semua anaknya diajar langsung oleh Kyai Alwi. Jika mereka sudah mempunyai dasar-dasar yang kuat dalam membaca, barulah dilepas untuk mengaji kepada guru-guru yang lain.
Kyai Alwi memang seorang guru agama biasa. Majelis pengajiannya sangat sederhana. Muridnya pun tidak seberapa. Akan tetapi Kyai Alwi memiliki cita-cita yang mulia untuk masa depan anak-anaknya. Beliau titiskan darah seorang guru yg mukhlis kepada anak-anaknya. Sifat dan semangat itulah yang menggelora dalam hati KHM Basori Alwi dan menuntun beliau menjadi ulama besar.
Kyai Alwi adalah seorang pengajar yang bersahaja, sabar, santun, disiplin dan ceria. Beliau adalah orang yang suka guyon. Tutur katanya halus, pandai bergaul, selalu menghargai orang, jujur dan neriman, dan gemar membantu. Salah seorang tetangga (yang bernama Wak Timbul) mengatakan: Kyai Alwi itu orangnya kharismatik, jadi hampir semua warga Singosari itu sungkan kepada beliau dan menganggap Kyai Alwi itu seperti orangtua sendiri bagi warga Singosari, apalagi beliau itu dalam bermasyarakat, akrab sekali dg warga Singosari.
Meski darah bisnis mengalir kuat dalam diri Kyai Alwi, tetapi beliau justru mengarahkan anak-anaknya untuk lebih dekat dengan dunia ilmu. Demikian juga sang istri, yakni Mbah Ning Riwati (Afiati), kesehariannya lekat dengan perkumpulan pengajian. Mbah Ning Riwati adalah seorang ustadzah pada zamannya. Meskipun ilmunya tidak banyak, tetapi Mbah Ning Riwati telah mengajar pelajaran dasar dalam fiqih, seperti:
Di Singosari, Mbah Ning Riwati terkenal dengan panggilan Wak Ning. Jamaah pengajiannya cukup banyak dari kalangan ibu-ibu muslimat NU, dan sangat menghormati Wak Ning.
Pernah beberapa tahun yang lalu, cucu Kyai Alwi (pen: Luthfi Basori) bermaksud memotong pohon kelapa di makam keluarga di Kadipaten, yg batangnya itu doyong dan menjorok ke makam keluarga. Setelah bertemu dengan pemiliknya, ternyata si ibu pemilik pohon tsb mengaku muridnya Wak Ning, dan mengatakan, “Alhamdulillah Gus kalau sampean bersedia memotongnya, karena kami sendiri takut kuwalat kepada Mbah panjenengan, jika kami sampai naik pohon kelapa tersebut. Tapi kalau ada cucunya Mbah Alwi yg mau memotongnya, ya monggo mawon. Apalagi saya ini muridnya Wak Ning!”, kata si ibu.
Mempunyai anak yang berilmu dijadikan pilihan dalam mendewasakan dan membekali putra putri Kyai Alwi dan Mbah Ning Riwati. Sehingga hasilnya:
Kyai Alwi adalah seorang ayah yang disiplin dan tidak suka memanjakan putra putra beliau. Meskipun Kyai Alwi menjadi agen sepeda Batavus, tetapi ketika sang putra (KHM Basori Alwi) merengek minta dibelikan sepeda pancal, bukannya dituruti tetapi bahkan dimarahi. Kata Kyai Alwi: “Mad… aku bisa membelikanmu 10 sepeda untuk kamu pakai sepuas puasnya. Tapi aku khawatir, kalau kamu sepedaan terus, kamu tidak akan bisa belajar. Nanti kalau kamu sudah pandai, kamu akan bisa beli sendiri”.
Mad atau Muhammad adalah panggilan kesayangan Kyai Alwi untuk putra sulungnya (KHM Basori Alwi). Dan, kata-kata Kyai Alwi tersebut menjadi kenyataan saat ini. Sang putra bisa membeli sendiri kendaraan, mulai sepeda pancal, sepeda motor sampai mobil telah dimiliki oleh putra-putra Kyai Alwi.
Nampaknya ada suatu cita-cita yang mulia dalam diri Kyai Alwi. Yakni mendirikan pesantren. Akan tetapi situasi dan kondisi saat itu barangkali yang tidak memungkinkan. Karena itu Kyai Alwi mendorong putranya untuk menjadi seorang ustadz. Beliau mengirim sang putra, yaitu KHM Basori Alwi, untuk mondok di beberapa pesantren. Mulai nyantri di Singosari, Bogor, Kediri, Gresik, Solo, Pasuruan (Sidogiri) dan lain-lain.
Setelah sang putra (KH. M. Basori Alwi) pulang dari mondok dan sudah ada di Singosari, maka sang putra didorong untuk mengajar beberapa orang di Singosari setiap hari Jumat. Saat itu yang diajarkan adalah kitab Bidayah Al Hidayah. Pada saat sang putra (KHM Basori Alwi) mengajar kitab itu, Kyai Alwi ikut hadir mengaji. Kehadiran Kyai Alwi dalam pengajian anaknya itu semata-mata untuk memberikan semangat kepada sang anak agar terus mengabdi dalam dunia mengajar. Hingga pada suatu pagi di hari Jumat, setelah pengajian Bidayah Al Hidayah, Kyai Alwi mengajak putranya untuk jalan-jalan di sekitar rumah. Ketika langkah mereka terhenti di pekarangan belakang rumah, Kyai Alwi mengatakan: Mad, omah iki lek mene dadekno pondok iki hebat, Mad”. (artinya: Mad, rumah ini jika suatu saat engkau jadikan pesantren, pasti hebat Mad)
Mendengar dawuh Kyai Alwi tsb, sang anak hanya terdiam seribu bahasa. Betapa tidak, keinginan sang ayah agar menjadikan lahan kosong tsb menjadi sebuah pesantren bukanlah perkara yang enteng. Tapi itu adalah sebuah amanat dari sang ayah. Ternyata setelah beberapa tahun sejak wafatnya Kyai Alwi, cita-cita beliau tsb terwujudkan dengan berdirinya Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) di rumah peninggalan Kyai Alwi. Bahkan di bekas pabrik penggilingan jagung dan beras milik Kyai Alwi pun sekarang menjadi kampus PIQ 2. Jumlah ustadz dan santri yang menetap di PIQ 1 dan PIQ 2 saat ini sekitar 550 orang. Sedangkan alumni PIQ jumlahnya sudah ribuan yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Kedisiplinan Kyai Alwi dalam memegang ajaran syariat sudah sangat masyhur di kalangan keluarga. Saat itu tidak ada satupun orang perempuan di kalangan keluarga yang berani berpakaian yang tidak syar’i di hadapan Kyai Alwi.
Semua keluarga jauh dari luar kota, apabila silaturahim ke Kyai Alwi, pasti akan berhenti di masjid/musholah di luar Singosari untuk berganti pakaian yang lebih syar’i. Kepada cucu-cucu perempuan yang masih kecil pun Kyai Alwi tetap disiplin. Jika ada cucu perempuan yang menggunakan celana panjang, akan beliau marahi, beliau berkata: “aku luwe seneng koen nggawe rok cekak timbangane nggawe celono dowo. Koyok wong lanang” (arti: Saya lebih suka kamu pakai rok pendek, daripada kamu pakai celana panjang, karena seperti laki-laki).
Kyai Abdul Hamid Pasuruan, seorang Waliyullah, pernah berkata: “Di Singosari ada seorang Waliyullah yang tidak diketahui oleh orang banyak tentang kewaliannya. Beliau adalah Habib Zein Ba’abbud”.
Habib Zein Baabud ini adalah sahabat dekat Kyai Alwi. Habib Zein Baabud berwasiat kepada keluarganya: “Nanti kalau saya wafat, saya minta dikuburkan di dekat makam Kyai Alwi dan Kyai Murtadlo di pemakaman Kadipaten. Agar saya mendapat barokahnya”. (Begitu wasiat Habib Zein Baabud). Dan benar, ketika wafat Habib Zein Baabud dimakamkan di dekat pemakaman keluarga Kyai Alwi di Kadipaten, di sebelah timur makam keluarga Kyai Alwi.
Kyai Alwi punya hobi berkebun dan beternak. Di belakang rumah beliau yang luas ditanami berbagai tumbuhan, seperti mangga, jambu, belimbing, sirsak, apel, pepaya, dan lain-lain.
Kyai Alwi juga senang memelihara ayam dan ikan. Bukan hanya itu, Kyai Alwi pernah memelihara SEMUT JEPANG, yang beliau letakkan di dalam toples yang diberi kapas. Belakangan baru diketahui, ternyata semut jepang itu berguna untuk menyembuhkan beberapa penyakit seperti: