Hidup Menjadi Penulis atau Wafat Dikenang Sejarah

By Ulil Abshar

Hidup Menjadi Penulis atau Wafat Dikenang Sejarah

Inspirasi Jejak Kehidupan Alim Rabbani KHM. Basori Alwi

Oleh: M. Abdullah Charis, M.Pd

Tidak berlebihan kiranya pepatah Arab “Isy Kātiban au Mut Maktūban” menjadi judul tulisan ini untuk mengenang jejak kehidupan seorang pendidik sejati KHM. Basori Alwi. Tulisan ini mengajak pembaca untuk mengenal sisi lain dari seorang ulama produktif dalam dunia literasi. Pengenalan ini diharapkan akan menyadarkan kita bahwa ada cara lain untuk membuat “jejak kehidupan” di muka bumi ini.

Ulama dan Tradisi Menulis

Menulis adalah salah satu cara orang untuk menyampaikan ide-ide pemikiran. Ketokohan dan wawasan seseorang dapat dilihat bukan hanya di saat dia berbicara tapi juga di saat menulis. Bahkan manfaat menulis jauh lebih baik dibandingkan hanya memakai kebiasaan orasi. Kelebihan menulis bukan hanya dapat dibaca oleh orang yang hidup sezaman dengan penulis, tapi juga pasca kewafatan penulis, karya-karya dan ide-ide sang tokoh dapat dikenali dengan membaca hasil karya tangannya. Menulis adalah bagian tradisi ilmiah dan ikonnya para cendekiawan. Dari menulis mereka dapat menyampaikan gagasan dan buah pikiran kepada orang lain.

Ulama-ulama terdahulu menjadikan menulis sebagai tradisi. Kitab atau buku-buku yang ditulis para ulama itu masih dapat dibaca hingga kini. Menulis juga menjadi media dakwah untuk menyebarkan kebaikan. Semua ulama yang menjadi arsitek kejayaan Islam masa lalu adalah para penulis ulung yang telah menghasilkan berbagai buah karya mereka yang sampai saat ini masih menjadi rujukan umat Islam sedunia dalam berbagai disiplin keilmuan. Bahkan, Barat yang kemajuannya hari ini telah jauh meninggalkan dunia Islam ternyata pernah mengekor pada kemajuan umat Islam masa silam.

Dunia pesantren yang selama ini dikesankan agak kurang akrab dengan dunia menulis yang relatif masih belum tumbuh dan berkembang. Dari ribuan atau bahkan mungkin ratusan ribu kiai pesantren, hanya sebagian kecil saja yang menulis buku atau kitab. Demikian juga dengan ratusan ribu atau mungkin jutaan santri, yang mau menekuni dunia menulis juga hanya sebagian kecil saja. Pada kondisi semacam ini, apa yang dilakukan oleh salah satu ulama kharismatik KHM. Basori Alwi telah memberikan warna lain yang mencerahkan dengan kontribusi yang kreatif dan produktif berhasil meneruskan estafet tradisi yang dilakukan oleh para ulama terdahulu dengan berbagai macam karya tulis yang telah beliau hasilkan baik dalam bidang akidah, al-Qur’an, tasawuf, bahasa Arab, dan lain sebagainya.

KHM. Basori Alwi adalah sosok ulama yang komplit, fasih dalam membaca al-Qur’an dan berceramah, serta penulis yang produktif. Beliau banyak menulis buku dan risalah ringkas. Ada sekitar 24 judul (ini versi yang diketahui penulis, red.), baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia.

Dari sekian banyak karya K.H. M. Basori Alwi semakin mempertegas sosok beliau sebagai ulama produktif dan pemikir yang berwawasan luas mencakup berbagai bidang kehidupan umat Islam. Dan secara tidak langsung beliau telah memberikan warisan yang sangat berharga untuk generasi berikutnya.

Buku atau Karya adalah “Warisan” Sejarah 

Akbar Zainudin dalam bukunya “UKTUB; Panduan Lengkap Menulis Buku dalam 180 hari” menyatakan bahwa manfaat utama yang bisa diwariskan dari sebuah buku atau karya adalah ide atau pemikiran. Mengapa ide tentang koperasi yang disuarakan Bung Hatta masih terus bergaung sampai sekarang? Karena Bung Hatta menulis buku. Mengapa pula ide-ide tentang filsafat dan tasawuf al-Ghazali masih terus dipelajari dan berkembang hingga sekarang (padahal beliau sudah wafat berabad-abad yang lalu)? Karena al-Ghazali menulis kitab. Dan juga kalau kita tambahkan mengapa karya KHM. Basori Alwi masih dikaji, diteliti, dan dikembangkan sampai sekarang? Karena KHM. Basori Alwi menulis kitab dan buku.

Hal kedua yang bisa diwariskan dalam buku atau karya adalah tata nilai (value) dan karakter. Lewat sebuah buku atau karya seolah KHM. Basori Alwi bercerita tentang nilai-nilai kehidupan dan karakter seperti apa yang beliau inginkan dari anak cucu, santri, pemimpin, dan masyarakat.

Hal ketiga yang bisa diwariskan dari sebuah buku atau kitab adalah pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan keterampilan jika ditularkan di dalam kelas, sangat terbatas bagi orang-orang untuk memilikinya. Tetapi jika disebarkan lewat tulisan, maka dampaknya akan jauh lebih dahsyat. Bahkan dengan teknologi internet yang sangat maju, ilmu pengetahuan dan keterampilan itu bisa disebarkan kepada setiap orang di pelosok dunia, kapan pun dan dimana pun mereka berada.

KHM. Basori Alwi  telah menentukan faktor yang beliau jadikan sebagai pijakan dasar untuk menulis yaitu orientasi ke-akhiratan, artinya kegiatan menulis yang bernilai ibadah. Tatkala hal ini telah terpenuhi maka aktivitas menulis akan menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang bahkan akan membuat penulisnya semakin termotivasi untuk menulis.

Dari sekian banyak alasan seseorang menulis buku atau karya ilmiah, menurut hemat saya bahwa di antara motivasi KHM. Basori Alwi dalam menulis atau berkarya adalah menyebarkan ilmu dan pengetahuan kepada masyarakat. Mengajar orang di dalam kelas hanya terbatas manfaatnya kepada yang hadir di dalam kelas. Ketika ilmu dan pengetahuan tersebut ada dalam bentuk buku, penyebarannya bisa lebih luas.

Berbagi ilmu pengetahuan bisa menjadi motivasi paling hebat bagi penulis. Menyebarkan ilmu pengetahuan adalah menyebarkan kebaikan yang akan menjadi pahala yang terus mengalir. Menulis dengan mengharap ridha Allah dan pahala akan memberi energi yang sangat besar, karena tulisan seseorang adalah amal kebajikan bagi orang tersebut.

Motivasi lain yang saya amati dari sosok KHM. Basori Alwi adalah bahwa menulis bagi beliau adalah jalan dakwah. Sebagaimana motivasi menyebarkan ilmu pengetahuan, bagi sebagian orang, menulis adalah salah satu jalan menyebarkan ajaran agama. Dengan lingkup penyebaran yang lebih luas, penyebaran agama tidak hanya terbatas bagi orang-orang yang hadir di pengajian-pengajian ataupun masjid, tetapi juga menyebar ke seluruh masyarakat. Ada nuansa spiritual yang luar biasa mendalam saat menulis dijadikan sebagai jalan dakwah. Kekuatan spiritual akan menimbulkan energi berlebih untuk menyalurkan dakwah lewat buku yang ditulis.

Apa yang KHM. Basori Alwi tuliskan akan menjadi amal kebaikan. Semakin banyak orang mengamalkan, pahala kebaikannya akan terus bertambah, dan kebaikan itu akan terus mengalir saat beliau sudah meninggal dunia sekalipun. Buku atau karya menjadi amal jariah beliau, kebaikan yang pahalanya terus mengalir, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

Apabila manusia meninggal dunia maka terputus darinya amalannya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)

Memadukan Budaya Membaca dan Menulis

Membaca dan menulis bagaikan saudara kembar yang tak dapat dipisahkan. Atau, kalau boleh dibayangkan kegiatan membaca dan menulis ini bagaikan sepasang suami-istri yang saling melengkapi dan mendukung dalam bekerja sebagai motor sebuah keluarga. Membaca dan menulis bagaikan dua sisi mata uang. Satu dan lainnya saling menunjang peran dan fungsi masing-masing. Adalah kekeliruan yang sangat besar pendapat orang yang menganggap membaca dan menulis membuang-buang waktu. Membaca dan menulis adalah pekerjaan besar bagi orang-orang berperadaban.

Membaca tidak hanya menelusuri deretan teks, tetapi membuka juga pandora pengetahuan. Semakin luas pengetahuan seseorang semakin terbuka wawasan dan kreativitasnya. Membaca idealnya menjadi tradisi semua profesi, karena profesi apapun sesungguhnya akan dapat berkembang dengan pesat manakala diikuti dengan membangun tradisi membaca secara baik pula. Bagi seorang penulis, misalnya, membaca jelas merupakan sebuah keharusan.

Sosok KHM. Basori Alwi adalah “role model” yang dapat dilihat oleh masyarakat luas –terutama oleh para santri beliau- tentang penyelenggaraan baca-tulis yang memberdayakan (membuat seseorang berkembang secara dahsyat hari demi hari). KHM. Basori Alwi dengan sempurna berhasil mengawinkan kegiatan membaca yang benar-benar terpola dengan kemampuan menulis (writing skill) sehingga lahirlah karya yang mumpuni.

Kesibukan KHM. Basori Alwi yang tinggi bukan alasan untuk tidak membaca, karena dengan rajin membaca maka akan membuat ide-ide di otak terus tumbuh dan berkembang. Dengan semakin banyak membaca maka modal untuk menulis juga semakin besar. Gugusan ide dan pemikiran akan muncul sebagai bahan menulis. Untuk mendukung upaya tersebut, beliau meletakkan kitab atau buku di tempat yang mudah dijangkau sehingga ketika ada kesempatan akan mudah untuk membaca.

Bagaimana menulisnya? Beliau melakukannya nyaris sama dengan membaca, yakni setiap ada kesempatan beliau melakukannya, bisa di rumah dan bahkan saat berada di dalam mobil. Kreativitas dalam membaca dan menulis itulah yang kemudian mengantarkan KHM. Basori Alwi menjadi salah satu kiai penulis produktif Indonesia yang sangat diperhitungkan.

Aktualisasi Potensi Diri

Menulis adalah keterampilan yang merupakan hasil latihan panjang. Melihat jumlah karya KHM. Basori Alwi yang disebutkan di atas (bahkan mungkin bisa lebih) seolah menegaskan akan hasil sebuah proses keterampilan yang panjang tersebut.

Bakat atau potensi seseorang memang berbeda dengan yang lain. Ada orang yang potensinya terbesarnya pada fisik, ada orang yang kemampuan bahasanya lebih tinggi, ada juga orang dengan kemampuan analisis bagus, sementara di sisi lain ada juga yang punya kemampuan menghafal yang luar biasa. Namun, potensi hanyalah tinggal potensi jika kita tidak memaksimalkannya dengan baik. K.H. M. Basori Alwi adalah sosok yang mampu memadukan dan meramu dengan baik potensi yang dimiliki dengan usaha yang maksimal.

KHM. Basori Alwi seolah menegaskan bahwa kita semua bisa menjadi penulis, apa pun profesi kita. Jangan berpikir karena kita bekerja di luar yang biasa menulis (akademisi, wartawan), lalu kita tidak bisa menulis. Justru karena kita lebih menguasai apa yang kita geluti akan lebih mudah untuk menulis.

Sebagai contoh, dengan pengalaman beliau bertahun-tahun mengajar al-Qur’an dan ilmu tajwid, ternyata bisa menjadi bahan tulisan yang baik dan bermanfaat bagi pembaca dan peserta didik, sehingga lahirlah karya beliau yang berjudul “Mabādi’ Ilm al-Tajwīd (Pokok-Pokok Ilmu Tajwid)” yang dilengkapi dengan “Qāmūs Miftāh al-Hudā fī Ma’rifat al-Waqf wa al-Ibtidā (Kamus Miftahul Huda untuk Mengetahui Waqaf dan Ibtida’)”. Karya KHM. Basori Alwi ini bisa dikategorikan best-seller (laris manis), dan hal ini bisa dibuktikan sampai dengan Juni 2009 sudah memasuki cetakan yang ke-28 (sementara sekarang sudah memasuki tahun 2022 yang tentunya jumlah yang sudah tercetak bisa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu eksemplar).

Sementara dalam pengalaman mengajar bahasa Arab yang juga bertahun-tahun, KHM. Basori Alwi mampu menuangkannya dalam sebuah karya yang monumental dengan judul “Madārij al-Durūs al-Arabiyah” (Jalan ke Bahasa Arab) yang terdiri dari 4 jilid. Bahkan kitab bahasa Arab ini bisa dikategorikan best-seller juga.

Akhirnya, jika kita merasa sudah cukup menyiapkan “harta benda” untuk anak cucu kita, saatnya menulis buku untuk membuat “warisan intelektual” yang lebih abadi. Jangan hanya takjub dengan orang lain saat menuliskan sejarah mereka, sekarang saatnya kita menuliskan sejarah besar hidup kita sendiri seperti apa yang telah dicontohkan oleh mahaguru mulia kita KHM. Basori Alwi.

*M. Abdullah Charis, santri PIQ 1997-2009, yang saat ini menjadi dosen bahasa Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Ditulis dalam rangka Haul ke-2 KHM. Basori Alwi pada 28 Februari 2022.

Author