Salah satu pejuang 10 November 1945 yang masih hidup hingga kini adalah KHM. Basori Alwi Murtadlo, pengasuh Pesantren Ilmu Al-Quran (PIQ) Singosari. Menurut beliau, perjuangan bangsa Indonesia saat itu sangat heroik. Termasuk perjuangan umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melawan tentara Inggris yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) atas keputusan dan atas nama blok sekutu.
Sebagai salah satu pelaku sejarah dalam peristiwa tersebut, beliau mengatakan, di masa itu memang semangat juang umat Islam sangat besar. Apalagi setelah adanya Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Bahkan, para pemuda Islam merasa bangga ikut perang melawan penjajah (baik Belanda maupun Jepang). “Para pemuda Islam merasa bangga ikut perang,” kata kiai kelahiran Singosari 15 April 1927 ini.
Beliau mengatakan, dirinya saat itu masih berumur sekitar 18 tahun. Beliau merasa terpanggil untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Beliau mengaku tak punya rasa takut sedikitpun saat akan mengikuti jihad melawan tentara Inggris. “Begitu ada Resolusi Jihad, umat Islam kompak, kami tidak takut mati,” kenang Kiai Basori.
Waktu itu, kenang beliau, sebelum pecah pertempuran 10 November (kira-kira tanggal 9 November), beliau berangkat dari Singosari ke Surabaya naik oplet sendirian. “Saya membawa tombak warisan ayah saya (Alwi Murtadlo),” kenang putra pasangan Kiai Alwi Murtadlo dan Nyai Riwati ini dengan nada bersemangat.
Sesampainya di Surabaya, Basori muda bergabung dengan para santri dan umat Islam dari berbagai penjuru di Jawa Timur. Kiai Basori mengatakan, jumlah umat Islam saat bergabung saat itu sangat banyak. “Saya tidak tahu jumlahnya, tapi banyak sekali,” ujar kiai kharismatik ini.
Menurut beliau, saat itu yang terjadi adalah pertempuran yang dari segi persenjataan, tidak seimbang. Karena ribuan umat Islam yang berada di medan perang hanya bersenjatakan pedang, bambu runcing, tombak, celurit dan sejenisnya. Meski ada juga tentara Indonesia yang membawa senapan. Sedangkan tentara Inggris datang dengan persenjataan lengkap dan modern. Tetapi semangat jihad membela agama dan bangsa yang begitu kuat membuat tentara Inggris keder. “Mungkin mereka grosi dihadang begitu banyak orang, ujar Kiai Basori.
Karena persenjataan yang tidak seimbang, banyak sekali mujahid yang gugur di medan tempur. Tetapi itu sama sekali tidak menyurutkan semangat umat Islam untuk mengusir penjajah. Perlawanan pun terus dilakukan. Dari sejumlah literatur, korban dari pejuang Indonesia berkisar 6000-16000 orang yang meninggal. Sedangkan dari tentara inggris sekitar 600-1000 tentara yang mati.
Setelah pertempuran 10 November, Kiai Basori pulang ke Singosari. Saat itu terjadi aksi bumi hangus. Beliau melihat bangunan-bangunan milik Belanda dibakar oleh masyarakat. Bahkan, bangunan di pinggir Jalan Raya Singosari juga banyak yang dibakar. “Nah rumah ayah saya saja yang tidak dibakar, karena dijadikan markas perlawanan. Rumah ayah saya itu kemudian menjadi pondok pesantren ilmu al quran (PIQ) saat ini,” terang ayah dari 6 anak tersebut.
Diceritakan Kiai Basori, ketika di Singosari beliau juga sering melakukan perlawanan kepada Jepang. Salah satu caranya, beliau dan para pemuda menghadang mobil yang dikendarai orang Jepang. Di tengah jalan, beliau mengacungkan tombak kepada mobil yang lewat agar berhenti. Begitu mobil berhenti, maka dilihat siapa pengemudinya dan menggeledah isi mobil. Jika pengemudinya orang Jepang, akan diminta senjatanya. Setelah senjata diberikan, pengemudi bisa melanjutkan perjalanan.
“Biasanya saya melakukan di rel kereta api Singosari itu. Saya bawa tombak,” ujarnya. Dengan cara seperti itulah pejuang Indonesia bisa mendapatkan senjata api.
Dikutip dari Radar Malang 10 November 2016 dengan perubahan seperlunya.