Qiyamul Lail Bersama Kyai

By Ulil Abshar

Qiyamul Lail Bersama Kyai

Sebuah Kenangan Hikmah Khodim Kiai

Mataku pelan terbuka. Sambil berusaha mengumpulkan kesadaran aku tengok siapa yang membangunkanku. Ah, rupanya Kyai. Kulihat beliau sedang duduk di atas ranjangnya. Beliau tersenyum sambil melihatku. Senyuman yang serta merta memberiku berton-ton kekuatan untuk bangun. Aku berdiri, langsung kupapah Kyai menuju kamar mandi. Pelan!. Hening!.

Itulah aktifitas malamku selama ini. Sudah lama aku diberi amanah untuk berkhdimat di ndalem (rumah Kyai). Aku bersyukur sekali mendapat kesempatan khidmat langsung kepada Kyai. Aku biasa menemani beliau “tindakan” (bepergian), menyiapkan segala keperluan beliau, dan juga menemani beliau “sare” (tidur) di kamar. Pukul 00.30 sampai 01.00 dini hari. Itulah jam di mana Kyai membangunkanku untuk memapah beliau ke kamar mandi dan menyiapkan segala keperluan qiyamul lail beliau. Malu rasanya. Aku yang masih muda ini justru lelap kalau tertidur. Sedangkan Kyai, angka usia beliau rupanya berbanding lurus dengan semangat beliau dalam beribadah. Memang pernah sesekali aku yang bangun duluan, tapi amat jarang. Mungkin bisa dihitung dengan jari. Ah, Kyai… Aku jadi malu sendiri…

Tak lama kemudian, Kyai keluar dari kamar mandi. Dengan sigap kupapah beliau lagi dan kubantu beliau memakai “seragam” ibadah. Kyai selalu suka memakai baju dan kopiah berwarna putih. Aku lantas menyusul berwudhu dan ikut sholat di belakang beliau. Kami sholat sendiri-sendiri. Tenggelam dalam ibadah di tengah keheningan malam.

Aku sudah dapat beberapa rakaat tahajud dan witir. Yah, cukup lelah karena kantuk menerjang-nerjang. Tapi kulihat Kyai masih khusyuk dalam ibadahnya. Aku sudah hafal. Beberapa rakaat tahajud. Kadang 4 rakaat, kadang 6, kadang 8. Lantas disambung dengan witir. Terkadang 3 rakaat, kadang 5 rakaat. Dan tak cukup di situ. Kyai lantas melanjutkan dengan sholat tasbih. Dalam sujud terakhir shalat tasbih beliau, itulah waktu yang paling membuatku resah pada awalnya. Beliau selalu lama dalam bermunajaat saat itu. Seringkali kulihat arlojiku, biasanya sekitar 1 jam Kyai melakukan sujud terakhir ini. Entah, apa yang beliau panjatkan. Lucunya, aku dulu sempat ketakutan saat belum paham kebiasaan beliau. Dulu aku pernah menepuk kaki beliau, khawatir terjadi apa-apa karena Kyai diam total. Kyai lantas mengeraskan doanya. Sebagai isyarah bahwa tidak terjadi apa-apa. Isyarah bahwa beliau ingin dibiarkan dalam kenikmatan ibadah di hadapan Sang Rabb.

Setelah bangun dari sujud, Kyai lantas menengadahkan tangan. Berdoa kembali. Kali ini sepertinya Kyai tidak mau menahan-nahan lagi. Kusaksikan air mata itu tumpah. Abah kyai merintih terisak. Rintihan yang keluar dari seorang hamba yang dadanya sesak merindukan Rabb-nya.

Ketika Kyai usai, kutengok sudah pukul 03.00 jelang Subuh. Kyai lantas minta diapapah menuju ranjang. Beliau lantas tidur kembali sejenak. Beliau berpesan agar dibangunkan ketika adzan Subuh berkumandang. Yang lucunya, malah aku lagi yang dibangunkan oleh Kyai.

Oh iya, tak jarang juga Bu Nyai sendiri datang dari kamar sebelah untuk membangunkan Kyai untuk berjamaah Subuh. Sedikit banyak aku juga hafal kebiasaan Bu Nyai. Setiap habis Isya, ketika Abah Kyai ada di “ndalem”, Bu Nyai selalu menemani Kyai makan malam dan bercengkerama di ruang TV. Tak lama, tak pernah lebih dari pukul 20.30 Bu Nyai lantas masuk ke kamar untuk istirahat. Jam 12.00 biasanya Bu Nyai sudah bangun dan terjaga dalam ibadah hingga Subuh.

Ketika kusaksikan Bu Nyai membangunkan Kyai untuk Shalat Subuh, hatiku mengharu biru. Itu hanyalah secuplik bentuk rasa cinta yang terus dipupuk hingga tua. Saling mencinta, saling menjaga hingga tua. Ah, indah sekali kisah cinta mereka berdua.

Cak Fawaid (begitulah dia dipanggil) saat melayani Kyai di setiap aktifitas beliau

Itulah aktifitas ibadah malam Kyai yang aku sendiri bersaksi, tak pernah beliau tinggalkan kecuali dalam keadaan “gerah” (sakit) yang benar-benar membuat beliau harus beristirahat. Kalau kita pikir kegiatan-kegiatan Kyai yang padat itu mengalahkan semangat Kyai untuk putus dari istiqomah beliau. Kita salah!.

Pernah saat itu beliau “kundur” (pulang) dari acara Nuzulul Quran di masjid Ampel Surabaya. Dalam perjalanan pulang, Kyai tidur. Saat sampai di rumah, biasanya Kyai akan istirahat barang 15-20 menit untuk sejenak “meluruskan punggung”. Biasanya Kyai sambil muthola’ah. Setelah itu aktifitas ibadah malam pun beliau laksanakan. Tetap sama, tetap khusyu’, tetap merintih.

Aku saksinya!.

* Ditulis oleh A. Syafiq berdasarkan penuturan Cak Fawaid, khodim Kyai semenjak tahun 2013 hingga Kyai wafat.