(Oleh: Ahmad Faiz Basori)
Almukarrom KH. M. Basori Alwi (pengasuh Pesantren Ilmu Al-Qur’an/PIQ Singosari Malang) adalah putra KH. Alwi Murtadlo atau yang akrab dipanggil Kyai Alwi. Berikut ini biografi Kyai Alwi yang dibacakan oleh penulis dalam acara Haul Bani Murtadlo tanggal 22 Mei 2017 di Singosari Malang.
Kyai Alwi adalah putra Kyai Murtadlo. Kyai Murtadlo wafat dan dimakamkan di Singosari. Kyai Murtadlo adalah putra Kyai Abdur Rohim yang berasal dari daerah Burneh Bangkalan Madura dan wafat serta dimakamkan di Singosari.
Kyai Abdur Rohim adalah putra Syarif Alwi yang berjuluk Agus Matal. Beliau berasal dari daerah Angsokah, Omben, Sampang Madura. Syarif Alwi adalah putra Syarif Yusuf yang berjuluk Buyut/Bujuk Kadir yang berasal dari daerah Jrengik, Sampang Madura.
Syarif Yusuf adalah putra dari Syarif Hasan yang berjuluk Buyut/Bujuk Radin, dan berasal dari daerah Batonaong, Arosbaya, Bangkalan Madura. Syarif Hasan adalah putra dari Syarif Husein yang bergelar Adipati Omben atau Buyut/Bujuj Rokem, yang berasal dari daerah Rapa Laok, Omben, Sampang Madura.
Syarif Husein adalah putra dari Syarif Ibrahim yang dikenal juga sebagai Sunan Dalam, yang berasal dari Gresik Jatim. Syarif Ibrahim atau Sunan Dalam adalah putra pertama dari Assayyid Assyarif Maulana Muhammad Ainul Yaqin yang lebih dikenal dengan nama Sunan Giri, yang berasal dari dari Gresik Jatim.
Sunan Giri adalah salah satu dari Wali Songo. Beliau adalah putra dari Maulana Ishak, yang wafat di Pulau Besar Malaka Malaysia. Nasab dan sejarah tentang Sunan Giri dan Maulana Ishak ini bisa dibaca di berbagai sumber sejarah.
Kyai Alwi adalah putra dari Kyai Murtadlo atau kadang dipanggil dengan nama Kyai Murtolo. Di lingkungan keluarga, nama Kyai Murtadlo kadang juga ditulis dengan ejaan Kyai Murtadho. Kyai Murtadlo adalah putra dari Kyai Abdur Rohim, yang berasal dari Burneh, Bangkalan, Madura.
Kyai Murtadlo mempunyai 5 orang putra-putri:
Mengenai asal usul keturunan Madura tersebut, ada kisah yang menarik (sebagaimana yang diceritakan oleh Ibu Saudah putri dari Nyai Maslihah Murtadlo):
Suatu saat ada rombongan tamu dari Madura yg akan minta tolong kepada Kyai Alwi. Singkat cerita, agar semakin akrab dengan tamu, saat itu Kyai Alwi mengaku kepada mereka, bahwa Kyai Alwi itu termasuk keturunan Adipati Omben (Syarif Husen).
Setelah mendengar pengakuan Kyai Alwi tsb, ternyata rombongan tersebut malah turun dari kursi dan duduk di lantai, bahkan saat pulang, mereka merangkak mundur hingga di luar pintu rumah Kyai Alwi. Belakangan baru diketahui bahwa pendahulu Kyai Alwi yang bernama Syarif Husein Adipati Omben, Sampang Madura tersebut adalah tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat. Dan beliau adalah cucu Sunan Giri.
Kyai Alwi terkenal sebagai seorang yang sabar, santun, tenang dan supel. Orang-orang kampung memanggil beliau dengan panggilan WAK ALWI atau KANG ALWI. Sedangkan orang-orang cina Singosari memanggil beliau dengan nama MAN ALWI.
Masa muda Kyai Alwi dihabiskan untuk mondok di beberapa pesantren, di antaranya di pondok Bungkuk Singosari dan pesantren Panji di Sidoarjo. Pada saat itu masih masa penjajahan Belanda. Di pondok Bungkuk Singosari, Kyai Alwi langsung berguru kepada Mbah Thohir. Selain belajar ilmu agama dan ilmu thoriqoh, sebagaimana para santri dan kyai pada zaman penjajahan Belanda, Kyai Alwi juga mempunyai ilmu kekebalan anti senjata atau anti peluru.
Dari Batu Ampar dan Sumenep Madura, Kyai Alwi mempelajari ilmu SONGERAJE. Mengenai ilmu kesaktian Kyai Alwi ini sudah tersohor di kalangan kyai-kyai tanah Madura. Sedangkan dari tanah Jawa ada juga ilmu yang disebut Penganoman Otot Kawat Balung Wesi. Setelah selesai mondok, Kyai Alwi sempat merantau ke Surabaya dan bekerja sebagai penjahit.
Sebagaimana lazimnya kyai-kyai lain pada zaman penjajahan Belanda, Kyai Alwi punya semacam senjata pusaka. Diantara peninggalan Kyai Alwi yang masih ada sampai sekarang adalah sebilah pedang dan 2 (dua) bilah keris. Biasanya pedang tsb dipajang di tembok, dan kedua keris juga di pajang di tembok di kanan kiri pedang.
Menurut kisah dari beberapa sesepuh Bani Murtadlo, ketiga senjata ini punya keistimewaan. Diantaranya jika ada maling, maka ketiga senjata ini akan berbenturan sehingga menimbulkan bunyi yang akan membangunkan Kyai Alwi. Bapak Mustahal (Bani Nyai Maslihah Murtadlo) pernah bercerita bahwa kerisnya Kyai Alwi pernah dipinjam oleh sahabat beliau yakni Habib Zein Baabud Singosari, tapi ternyata keris tersebut pulang sendiri ke rumah Kyai Alwi. Seolah olah tidak mau keluar dari rumah Kyai Alwi.
Pernah juga ada kisah tentang kesaktian Kyai Alwi ini. Suatu saat ada peristiwa “bacokan/carok” di Singosari. Maka Kyai Alwi mengambil pedang beliau dan keluar rumah untuk mendatangi orang-orang yang bacokan tsb. Kemudian Kyai Alwi mengelinting tembakau hitam dengan kertas putih. Asapnya kemudian ditiup-tiupkan ke arah orang-orang yg berkumpul tsb. Sontak orang-orang yang akan bacokan bubar semua. Setelah itu Kyai Alwi pulang dan menggantungkan kembali pedangnya di tembok.
Kyai Alwi juga terkenal ahli menyembuhkan orang yang sakit gigi. Dan kalau sudah diobati Kyai Alwi maka insyaallah tidak akan kambuh lagi. Diantara buktinya adalah yang dialami oleh besan Kyai Alwi sendiri, yaitu Mbah Khofsah (ibu mertua dari Ayahanda KHM Basori Alwi), yang tidak pernah sakit gigi lagi setelah diobati Kyai Alwi.
Kakak Kyai Alwi yang bernama Kyai Abdillah Murtadlo (alm.) menikahi Mbah Ning Riwati (seorang wanita sholihah yang berasal dari desa Kedungcangkring, Sidoarjo. Suatu desa di pinggiran Sungai Porong Sidoarjo).
Dari pernikahan tersebut lahirlah beberapa anak, diantaranya Kyai Abdus Salam dan ibu Muthmainnah. Setelah wafatnya sang kakak, yakni Kyai Abdillah Murtadlo, maka Mbah Ning Riwati dinikahi oleh sang adik, yakni Kyai Alwi. Dalam komunitas santri ini dikenal dengan istilah “Turun Ranjang”.
Motivasi pernikahan ini adalah demi berlangsungnya masa depan dan pendidikan putra putri Kyai Abdillah Murtadlo. Dari pernikahan Kyai Alwi dengan Mbah Ning Riwati ini lahir beberapa putra:
Dengan demikian, putra putri dari Mbah Ning Riwati adalah:
Keenam putra putri tersebut diasuh semuanya oleh Kyai Alwi Murtadlo. Beliau juga mengasuh HM. Said Budairi (putra Ibu Muthmainnah yg wafat setelah beberapa bulan melahirkan). Said Budairi adalah cucu Mbah Ning Riwati tetapi juga anak susuan beliau (rodlo’ah). Menjelang wafatnya Mbah Ning Riwati, Kyai Alwi menikah lagi dengan seorang perempuan yang bernama Muthmainnah, yang dalam keluarga dipanggil dengan panggilan Mak Nyik. Dari pernikahan dengan Mak Nyik Muthmainnah itu Kyai Alwi tidak dikaruniai putra.
Kyai Alwi memiliki 16 orang cucu. Dari KHM Basori Alwi diperoleh 11 orang cucu. Dari H. Abdullah Alwi Murtadlo diperoleh 3 orang cucu. Dan dari H. Abdul Karim Alwi Murtadlo beliau memiliki 2 orang cucu.
Kyai Alwi wafat setelah ke-16 cucu beliau lahir. Kyai Alwi wafat ketika putri terakhir KHM Basori Alwi (yakni Kholidah) sudah berusia sekitar 1 tahun, kira-kira pada akhir tahun 1973 atau awal 1974. Di akhir-akhir hayat Kyai Alwi, beliau masih sering menggendong Kholidah yang masih bayi. Sementara Mbah Ning Riwati wafat tahun 1965-an. Cucu kesayangan Kyai Alwi dan Mbah Ning Riwati adalah Farid Basori dan Anas Basori.
Setelah Kyai Alwi menetap kembali di Singosari selepas masa nyantri dan bekerja di Surabaya, dan sudah menikah, Kyai Alwi membantu meneruskan usaha dagang sang ayah, Kyai Murtadlo. Beliau berdagang rotan.
Pada sekitar tahun 1930an, saat itu perekonomian di pasar Singosari mulai menggeliat. Dokar berlalu lalang setiap hari. Suasana itu pun kemudian dimanfaatkan oleh Kyai Alwi. Rumah Kyai Alwi (Jl Raya 94 Singosari) yang ada di dekat pasar disulap menjadi Toko sepeda. Kyai Alwi menjadi agen sepeda Batavus. Meski sederhana, toko sepeda itu sangat kondang. Maklum belum ada pesaing.
Kyai Alwi juga pernah menjadi agen rokok Misuho dan Koa, menjadi agen minyak kelapa & minyak tanah, serta menjadi distributor sarung/jarit/pakaian di pasar singosari. Pada hari-hari tertentu (hari pasaran), Kyai Alwi menjajakan dagangan ke pasar-pasar lain di luar Singosari, seperti di daerah Karangploso dan Nongkojajar. Beliau naik dokar ke pasar-pasar tsb.
Kyai Alwi juga mempunyai toko peracangan yang cukup besar yang diberi nama TOKO AFIATI. Nama Afiati adalah nama baru Mbah Ning Riwati, yang diubah karena Mbah Ning Riwati menderita sakit yang cukup lama. Nama Afiati yang mempunyai arti KESEMBUHAN ini dipilih sebagai pengganti nama Mbah Ning Riwati. Kyai Alwi memang tergolong pedagang pribumi yang maju. Beliau sangat profesional dalam menjalankan bisnisnya.
Kyai Alwi memiliki sebuah perusahaan seleb/penggilingan jagung dan beras, dan beliau beri nama CV. Derajat. Pengelolaan CV. Derajat ini sangat profesional. Pembukuan/akuntansinya sangat rapi dan tersimpan rapi sampai hari ini. Bukan hanya rapi dalam pembukuan perusahaan, tetapi Kyai Alwi juga sangat rapi dalam memelihara dan menyimpan dokumen-dokumen dan kitab-kitab yang dimiliki. Semua kitab-kitab agama beliau tertulis di dalamnya nama ALWI MURTADLO
Kyai Alwi juga menggunakan teknologi dalam bisnisnya. Di CV Derajat tersebut sudah ada pesawat telpon, sesuatu teknologi yang jarang dimiliki oleh orang di Singosari saat itu. Dan CV Derajat itu adalah satu-satunya seleb padi dan jagung di Singosari yang berada di pinggir jalan raya. Pada saat bekerja di perusahaan beliau, Kyai Alwi selalu berpakaian rapi dan perlente. Sehingga dalam benak cucu-cucu beliau, Kyai Alwi seperti pegawai kantoran. Ini merupakan salah satu bentuk profesional Kyai Alwi dalam urusan bisnis.
Aset yang dimiliki Kyai Alwi pada saat itu termasuk banyak. Beliau punya rumah pribadi yang cukup luas di Jl. Raya 94 Singosari. Beliau juga punya gedung CV Derajat yg luas di Jl. Raya 98 Singosari. Ada lagi beberapa tanah sawah. Bahkan Warung Biru yang ada di Selatan rel kereta api Singosari itu dulu adalah tanahnya Kyai Alwi. Banyak aset Kyai Alwi yang diberikan untuk perjuangan NU dan Madrasah. Kyai Alwi tidak melulu mencari uang. Ada saat bekerja, ada saat beramal. Waktu luang beliau manfaatkan untuk berbagi ilmu. Hampir setiap hari, sebelum membuka toko, Kyai Alwi membuka pengajian di rumahnya. Beliau sendiri yang menjadi pengajar tetap. Setiap pengajian dihadiri oleh puluhan jamaah.
Ketika tentara Jepang memasuki tanah Jawa dan Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang, Kyai Alwi diangkat menjadi TONARIGUMI (Ketua RT). Kyai Alwi juga menjadi pengurus langgar di Jl. Kristalan. Beliau juga pernah menjabat Ketua Cabang NU Singosari (cikal bakalnya PCNU Kab. Malang). Sampai Kyai Alwi wafat, beliau tetap menjadi pengurus NU.
Bersambung ke Biografi KH. Alwi Murtadlo (2).