Oleh: Abdullah Murtadho
(Ketua Persatuan Pelajar Ribath Alawiyah Hadramaut Yaman)
Para ulama di Nusantara sejak dulu menganjurkan memperbanyak bersedekah di bulan Shafar untuk menolak balak. Sedekah tersebut oleh masyarakat kita ditradisikan dalam bentuk bubur safar. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penolakan bala. Lebih-lebih Rabu terakhir dalam setiap bulan dianggap sebagai hari terjadinya sial berdasarkan hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ
رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).
Nabi saw bersabda: “Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus”.
Selain itu juga sebagai upaya menyelisihi orang yang menganggap sial Bulan Shafar. Sebab Rasulullah saw menyatakan tidak ada kesialan di bulan Shafar.
عن أبي هريرة قال إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا عدوى ولا صفر ولا هامة
Dari Abi Hurairah r.a sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: tidak ada penyakit menular; Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar; Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang. ”
Maka berdasarkan hal ini, justru di bulan Shafar ini kaum muslimin melakukan banyak kegiatan, utamanya ketaatan-ketaatan seperti bersedekah atau berkumpul bersama di suatu tempat untuk berdzikir bersama-sama, mengadakan pengajian bahkan sholat sunnah yang terkadang disebut sebagai shalat rabu wekasan. Ini semua dilakukan guna menyelisihi orang-orang yang takut melakukan apapun, baik keluar rumah atau kegiatan lainnya hanya karena khawatir akan mendapatkan kesialan dalam kegiatan mereka.
Terkait dengan hadits diatas, Al Hafizh Ibn Rajab Al Hanbali, ulama rujukan salafi dan murid Syaikh Ibn Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan kalimat “walaa shafar” sebagai berikut:
أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَالتَّشَاؤُمُ بِصَفَر أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَالتَّشَاؤُمُ بِصَفَر هو من جنس الطيرة المنهي عنه.
“Yang dimaksud dengan bahwasannya orang-orang jahiliyah konon mengaitkan kesialan dengan bulan Safar. Mereka mengatakan sesungguhnya Safar adalah bulan yang dianggap sial. Lantas Nabi saw membatalkan hal tersebut. Ini dikisahkan oleh Abu Daud dari Muhammad bin Rasyid al Makhuliy dari orang yang beliau dengar mengatakan hal tersebut dan barangkali ucapan ini adalah ucapan yang paling menyerupai. Dan banyak orang jahil menganggap sial pada bulan Safar dan tak jarang melarang berpergian pada bulan itu. Ini merupakan thiyarah yang dilarang.”
Pada kitab yang lain beliau juga menjelaskan, yang mana penjelasan beliau ini menjadi hujjah bagi pelaku tradisi bubur safar dan tradisi yang tidak keluar syariat lainnya seputar bulan Shafar. Beliau mengatakan:
وَالْبَحْثُ عَنْ أَسْبَابِ الشَّرِّ مِنَ النَّظَرِ فِي النُّجُوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَالْبَاحِثُوْنَ عَنْ ذَلِكَ غَالِبًا لَا يَشْتَغِلُوْنَ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلَاءَ مِنَ الطَّاعَاتِ، بَلْ يَأْمُرُوْنَ بِلُزُوْمِ الْمَنْزِلِ وَتَرْكِ الْحَرَكَةِ، وَهَذَا لاَ يَمْنَعُ نُفُوْذَ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْتَغِلُ
بِالْمَعَاصِيْ، وَهَذَا مِمَّا يُقَوِّيْ وُقُوْعَ الْبَلاَءِ وَنُفُوْذَهُ، وَالَّذِيْ جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ هُوَ تَرْكُ الْبَحْثِ عَنْ ذَلِكَ وَاْلإِعْرَاضُ عَنْهُ وَاْلإِشْتِغَالُ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلاَءَ مِنَ الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالصَّدَقَةِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلإِيْمَانِ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ.
(الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٣).
“Mencari sebab-sebab keburukan berupa melihat kepada bintang-bintang (ahli nujum) dan semisalnya merupakan thiyarah yang dilarang. Dan mereka yang sibuk mencari kaitan hal tersebut biasanya tidak menyibukkan dirinya dengan ketaatan yang justru bisa menolak bala. Bahkan mereka memerintahkan agar tetap di rumah saja dan meninggalkan aktivitas. Padahal ini tidak mampu mencegah berlakunya qadha dan qadar. Sebagian mereka ada pula yang menyibukkan diri dengan maksiat-maksiat. Padahal ini justru memicu turunnya bala. Sedangkan yang dibawa (diperintah syariat) adalah tidak mencari sebab musababnya terkait bintang dan semisalnya akan tetapi justru menyibukkan diri dengan hal-hal yang dapat mencegah turunnya bala berupa dzikir, sedekah, penguatan tawakkal kepada Allah dan iman kepada qadha serta qadar”
Maka dengan demikian jelaslah sudah, bahwa apa yang dilakukan oleh mayoritas muslimin di Indonesia ini adalah termasuk ketaatan yang dianjurkan oleh syariat.