Sesuai dengan nama dari pesantren ini maka pembelajaran Al-Quran menjadi salah satu materi pokok (selain bahasa Arab) yang memperoleh perhatian lebih dari yang lain.
Ada dua tahap pembelajaran Al-Quran di Pesantren Ilmu Al-Quran:
Ditempuh pada tahun pertama santri masuk pesantren. Pada tahap ini santri ditargetkan mengkhatamkan Al-Quran 30 juz dengan bacaan murottal dan mujawwad dalam satu tahun bagi mereka yang mampu. Alokasi waktu yang diberikan adalah dua jam perhari atau 40 persen dari total waktu belajar reguler santri.
Pada tahap ini alokasi waktu yang diberikan adalah 1 jam/hari atau 20% dari total waktu belajar santri.
Pengajaran Al Quran sejak tahap pembekalan dilaksanakan dengan sistem klasikal, di mana santri ditempatkan pada tiap-tiap kelas sesuai dengan kemampuan baca Al Quran dengan batas maksimal dalam satu kelas 25 orang. Selanjutnya pengajaran dilaksanakan melalui beberapa tingkat kelas yaitu:
Kelas ini ditempuh pada juz 30 dengan mempraktekkan bacaan tahqiq. Guru banyak memberikan contoh bacaan-bacaan Al Quran dengan ritme pelan dan banyak mengulang beberapa huruf atau ayat yang perlu untuk diulang yang kemudian ditirukan oleh santri baik secara bersama ataupun sendiri-sendiri. Dan setelah dipandang baik bacaannya, santri dikenalkan bacaan tartil secara terpimpin.
Kelas ini memiliki tiga bagian:
Di semua bagian di atas, sebelum menambah maqro/pelajaran berikutnya, dilaksanakan muroja’ah (membaca ulang secara bersama pelajaran yang telah diajarkan pada pertemuan sebelumnya).
Adalah kelas santri yang dipersiapkan untuk mengikuti ujian Nihaiy (ujian final) dan kelas yang dipersiapkan bagi santri akan mengikuti ujian pengambilan ijazah setelah dinyatakan lulus dalam ujian Nihaiy yang mana masing-masing ditempuh selama satu semester.
Kelas ini dipersiapkan bagi santri yang dinyatakan lulus ujian pengambilan ijazah. Di samping mereka mengkaji bacaan Al Quran, mereka juga mengkaji tafsirnya dengan menggunakan kitab panduan. Tafsir Jalalain bagi pemula dan Tafsir Muqoronah bagi yang telah mahir. Di sini santri dituntut aktif karena mereka tidak hanya menerima penjelasan-penjelasan tentang materi tafsir yang dikaji, namun juga dilatih menggubah/mengungkapkan kembali materi tafsir dengan bahasa mereka, baik dengan lisan maupun tulisan.