Refleksi Sejarah Kemerdekaan

By Abdullah Murtadlo

Refleksi Sejarah Kemerdekaan

Tasyakkur agustusan yang kita rayakan setiap tahunnya sejatinya merupakan bentuk melaksanakan perintah Allah swt. Yang kita lakukan saat ini, secara global terdiri dari dua hal, tasyakkur itu sendiri alias bersyukur kepada Allah ta’ala atas nikmat yang Allah berikan kepada kita, dalam hal ini adalah kemerdekaan dan sekaligus juga merupakan sebuah refleksi sejarah. Mengenai bersyukur, banyak termaktub dalam firman Allah ta’ala, diantaranya adalah “la in syakartum laazidannakum”, jika kalian bersyukur, maka Kami tambahkan (nikmat) untuk kalian. Adapun refleksi sejarah, Allah pun memerintahkan hal itu dalam firman-Nya “wal tandzur nafsun ma qaddamat li ghad”, perhatikan sejarahmu untuk hari esokmu. Semoga apa yang kita lakukan ini berbuah ridha dari Allah ta’ala.

Berbicara tentang sejarah proklamasi, adalah sebuah kekeliruan besar apabila kita berkilas balik hanya sebatas sampai Bung Karno dan Bung Hatta saja. Sebab kenyataannya proklamasi beliau berdua itu hanya puncaknya saja. Adapun jalan menuju puncak itu tentu berlika-liku, sangat panjang dan berlandaskan darah keringat perjuangan orang banyak. Dalam konteks indonesia, tidak terbantahkan lagi semua itu berkat peran ulama. Perjuangan ini dimulai sejak zaman walisongo bahkan sejak para ulama dan da’i yang lebih dulu hidup jauh sebelum beliau-beliau.

Barangkali jika dianalogikan, ibarat sepakbola, jika bapak Proklamasi kita Bung Karno dan Bung Hatta adalah striker yang mengeksekusi, maka para ulamalah yang menjadi playmaker yang mengolah dan menyiapkan bola hingga sampai pada titik yang memungkinkan untuk dieksekusi oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Maka dari titik inilah saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk melihat perjalanan sejarah bangsa ini.

Saudaraku, banyak sekali prasasti atau jejak peran ulama yang bisa kita napak tilasi dan sekaligus menjadi bukti nyata dominasi peran mereka dalam perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini. Di dalam perjalanan bangsa ini, para ulama melalui masjid dan pesantrennya, dengan akhlaq dan kebijaksanannya telah membangun sebuah karakter yang luar biasa. Karakter yang terwujud pada generasi santri. Dari sini, kelak pengaruh lanjutannya adalah bangkitnya kekuatan politik yang melahirkan sekitar empat puluh kekuasaan politik Islam atau kesultanan di seluruh Nusantara Indonesia. Salah satu diantaranya, kesultanan Banten dengan Sunan Gunung Jati alias Syarif Hidayatullah sebagai muassisnya. Selain Banten, beliau juga membangun kekuatan politik Islam di Cirebon dan Jayakarta. Bahkan dikisahkan pula bahwa Sultan Babullah dari Kesultanan Ternate adalah keturunan beliau.

Baik, berikut ini adalah beberapa fakta dan realita sejarah yang merupakan bukti keberhasilan perjuangan para ulama’:

  1. Jakarta sebagai bukti konkrit. Berasal dari nama Jayakarta yang dibakukan oleh Sunan Gunung Jati bersama Fatahillah. Jayakarta yang berarti “kemenangan paripurna” merupakan terjemah dari “fathan mubina” yang diambil dari  AlQuran Surah 48:1 “Inna fatahna laka fathan mubina”. Hal ini sebagai perlambang syukur kepada Allah atas kemenangan dan keberhasilan menggagalkan usaha penjajahan kerajaan katolik Portugis di Sunda Kelapa. Penjajahan ini sebagai wujud implementasi testamen imperialisme Paus Alexander VI dalam perjanjian Tordesilas 1494 M.
  2. Istilah Indonesia itu sendiri. Yang pertama kali memelopori istilah Indonesia adalah Dr. Soekiman Wirjosandjojo saat merubah nama Indische Vereniging menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925 di Belanda dan juga merubah nama majalah Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka. Siapakah sosok beliau? Dari golongan manakah beliau? Ternyata beliau adalah sosok yang aktif dalam pimpinan partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Islam Indonesia dan Partai Masyumi.
  3. Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa resmi bangsa ini. Realita sejarah mengatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan hasil transformasi dari bahasa Melayu pasar yang digunakan di lingkup pasar khususnya oleh para pedagang muslim nusantara maupun Arab dan juga selain mereka pada umumnya. Sekali lagi, yang saya garis bawahi adalah bahasa kita ini berasal dari bahasa Melayu pasar, bukan dari sansekerta atau dari bahasa peninggalan Hindu Budha yang lain. Bahasa Melayu ini ditulis dengan huruf Arab Melayu. Pada perkembangannya, bahasa ini menjadi bahasa ilmu di pesantren-pesantren yang dikenal dengan istilah bahasa jawi atau pego. Dan juga menjadi bahasa diplomatik di kalangan pemegang kekuasaan. Tentu tersebarnya bahasa Indonesia ini merupakan bukti konkrit perjuangan dakwah dan peran serta para ulama’ dalam membangun identitas dan karakter bangsa ini.
  4. Dan yang paling mewakili harapan serta cita-cita bangsa ini adalah Sang Saka Merah Putih. Ketahuilah! Merah putih adalah bendera Rasulullah saw sebagaimana yang diangkat oleh Imam Muslim dalam kitab Al Fitan jilid X halaman 340 dari Hamisy Qasthalani.Beliau saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menunjukkan kepadaku dunia. Maka aku melihat seluruh penjuru timur dan barat. Dan sesungguhnya kekuasaan umatku kelak akan mencapai apa yang ditunjukkan padaku. Dan Allah menganugerahkan padaku dua perbendaharaan, merah dan putih.”Maka dari itu, para ulama’ dari berbagai generasi dan zaman berjuang untuk mengenalkan Sang Saka Merah Putih dan menjadikannya sebagai identitas bangsa Indonesia. Dengan kebijaksanaannya, pengenalan ini mereka upayakan dengan pendekatan budaya. Mereka jadikan warna merah dan putih sebagai simbol sakral di setiap sendi peristiwa hidup bangsa Indonesia. Misalnya:
    • Pada setiap awal pidato atau tulisan dipopulerkan istilah sekapur sirih dan seulas pinang. Ini adalah simbol, kapur dan sirih jika tercampur maka akan menghasilkan warna merah. Sedang buah pinang jika dibelah, bagian dalamnya akan menyuratkan warna putih.
    • Adat penyajian bubur merah putih di setiap tasyakkuran dan peristiwa-peristiwa penting.
    • Ketiga, konon setiap membangun rumah, diatas suhunannya dikibarkanlah sang Merah Putih. Begitu pula di masjid-masjid jami’ pada tiap hari Jum’at.
    • Dan lain sebagainya.

    Rupanya merah putih yang telah membudaya ini berhasil bersemayam di dalam spirit dan cita-cita bangsa ini bahkan telah menjadikan pemerintah kolonial belanda tidak sanggup melarangnya dan memisahkannya dari bangsa Indonesia.

    Teks Proklamasi kemerdekaan. Puncak prasasti perjuangan dan bukti andilnya para Ulama terhadap proklamasi Indonesia adalah teks proklamasi itu sendiri yang berbunyi “atas berkat rahmat Allah yang Maha Pengasih lagi maha penyayang”. Ini merupakan terjemah siratan bahkan suratan dari hadits Rasulullah yang bersabda “ (Ramadhan itu) (sepuluh hari) awalnya adalah Rahmat “. Bukankah 17 agustus 1945 bertepatan dengan hari jumat legi tanggal 9 ramadhan 1364 H , dan hari kesembilan Ramadhan tentu masuk kedalam Rahmat Allah swt sebagaimana hadits tadi.

Maka dari sini mari kita melesat jauh ke belakang. Kita berefleksi. Kita khidmatkan. Bagaimana Allah dengan indahnya menganugerahkan kepada kita komposisi proklamasi terbaik. Allah kumpulkan seluruh elemen sakral umat Islam pada saat itu, pada hari yang paling sakral (Jum’at), pada bulan yang paling sakral (Ramadhan), dan dengan bendera yang paling sakral, panji Rasulullah sang saka merah putih. Dan jangan lupa, kitalah satu-satunya negara terjajah di Asia Tenggara yang meproklamirkan kemerdekaan menggunakan bahasa kita sendiri, bahasa Indonesia. Bahasanya para pedagang muslim. Bahasa pendidikannya Pesantren. Bahasanya para pemegang kekuasaan politik Islam dan para sultan. Bukan bahasa sansekerta apalagi bahasanya bangsa penjajah.

Akhirnya, lubuk hatiku yang paling dalam mengucap: “Selamat ulang tahun negaraku tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga para ulama’ senantiasa mengawalmu dan kau tetap istiqomah mendengarkan petuah-petuah mereka.”


Abdullah Murtadho, menyambut adzan Ashar, 16 Agustus 2016